-->

KIAT POLITIK NEGARANISASI DESA

Garis besar perjuangan Parade Nusantara (Persatuan Rakyat Desa Nusantara )  adalah “Membangun desa, memperkokoh kota, menuju Indonesia jaya “.  Sejak jaman orde lama, orde baru sampai dengan era Orde Reformasi saat ini, pola pembangunan Indonesia  menggunakan system Top Down, (Pola pembangunan dari atas kebawah)yang terbukti tidak tepat/tidak efektif. Yang sedang diperjuangkan Parade Nusantara adalah membalik pola system pembangunan dari pola  top down system menjadi  bottom up system(  jadi dari bawah ke atas ). Dasar  dan landasan pemikiran Parade Nusantara adalah, bahwa berdasarkan sensus penduduk  tahun 2010, total jumlah penduduk Indonesia ada 237,4 juta jiwa manusia. Hampir 80% penduduk Indonesia itu hidup dan bertempat tinggal di pedesaan. Oleh karena itu, Parade Nusantara menyimpulkan bahwa rakyat desa adalah pemegang saham terbesar dari mayoritas bangsa ini. Dalam andil mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun faktanya rakyat yang seharusnya menjadi pemegang kedaulatan negara, lemah dan tidak berdaya, karena rakyat Indonesia mayoritas tidak sungguh - sungguh mempunyai kedaulatan politik.
Menurut Ketua  Dewan Presidium Parade Nusantara, Sudir Santoso MH kepada Topik mengungkapkan, “Saya sangat berharap pola pembangunan top down system di ubah menjadi bottom  up system.  Jadi dari bawah dapat terangkat ke atas. Jargon Parade Nusantara adalah “ membangun desa”.  Apabila desa  maju dan berkembang perekonomiannya, infrastrukturnya serta supra strukturnya, maka kota otomatis menjadi kokoh, yang bermuara pada kejayaan negara.
Yang menjadi masalah saat ini adalah, Para pemimpin kita  masih nyaman menggunakan system top down, dengan menggunakan kiat politik NEGARANISASI  DESA sehingga Desa terus menjadi Obyek dalam segala bidang. Desa terus diposisikan menjadi obyek ekonomi, politik sosial dan budaya. Akibatnya, kebesaran jumlah rakyat desa Indonesia hanya seperti buih didalam lautan “kalau dilihat dari kejauhan nampak sangat besar, tetapi kebesaranya tidak mampu membawa arus tetapi selalu diombang-ambingkan oleh derasnya arus “.
“Negararisasi Desa” adalah kiat politik yang digunakan Pemerintah   kolonial Belanda untuk mengexploitasi Desa, yakni memperalat desa untuk kepentingannya. Di jaman kolonial Belanda, aparatur Pemerintah Desa  diperalat  menarik pajak, mendata dan menunjuk petani desa untuk melakukan tanam paksa,  melindungi perkebunan-perkebunan (ondernering ) miliki Belanda. Agar supply komodity yang dikehendaki VOC terpenuhi  baik kwantitas maupun kwalitasnya.
Politik NEGARANISASI DESA peninggalan Kolonial Belanda, dihadirkan lagi pada jaman Orde Baru yang tentu saja dengan kemasan baru. Jikalau Kolonial Belanda menerapkan politik Negaranisasi Desa dengan legalitas payung hukum IGO ( Inland Gemeenty Ordonancee ) politik Negaranisasi desa di jaman Orde Baru dipayungi dengan lahirnya UU Nomor 5 Tahun 1979, yang pada hakekatnya menyeragamkan segala pranata pemerintahan Desa agar dapat dikontrol oleh supra Desa ( Pemerintahan diatas pemerintahan Desa).
Dalam bidang politik aparatur pemerintahan desa, dipaksa sebagai alat pemenangan Golkar dengan menggunakan metode KARAKTERDES (Kader Rakyat Desa ). Jangan pernah berharap calon - calon kepala desa maupun perangkat desa akan lulus dalam ujian tertulisnya apabila tidak mau membuat dan menanda tangani surat pernyataan yang isinya akan menyampaikan aspirasi politiknya melalui Golkar, yang disodorkan oleh kantor SOSPOL Kabupaten. Jangan pula berharap desa mendapat sentuhan pembangunan yang layak apabila dalam pemilu legislatif perolehan suara Golkar kalah didesa tersebut. Dari paparan singkat ini dapat kiranya ditarik kesimpulan bahwa, pada zaman Orde Baru Politik Negaranisasi Desa difokuskan untuk kemenangan Golkar yang selanjutnya digunakan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan.
          Ada anekdot/lelucon yang berkembang dilapisan masyarakat pedesaan “ Kalau ada orang mengunyah permen ,begitu manis terasa tidak mungkin lagi dimuntahkanya”. Demikian pula manisnya menguasai desa di Indonesia yang berjumlah kurang lebih 71.862 Desa yang terbentang dari Sabang diujung barat sampai Merauke diujung timur Nusantara.
Ketika ketangguhan dan kedigdayaan benteng Orde baru tumbang oleh gelombang pasang Tsunami Reformasi yang dimotori para mahasiswa ,atas fasilitasi forum Rektor Indonesia yang disponsori Amerika, maka terbitlah fajar Reformasi dibumi Pertiwi.
Di Era Orde Reformasi saat ini, politik Negaranisasi Desa terus dilanggengkan/dilestarikan ,tentu saja dengan cassing/bungkus yang berbeda. Didalam hal ini terbukti atas lahirnya UU No.22 Tahun 1999 tentang Otonomi daerah yang mana didalamnya termasuk mengatur tentang Pemerintahan Desa.
Ketika terjadi era keterbukaan / lebih tepatnya adalah eforia kebebasan ,didalam UU No.22 Tahun 1999 pemerintahan desa pun tetap dimarginalkan (diperlakukan tidak adil ). Ketidak adilan dalam bidang politik bagi paratur pemerintah Desa dapat dilihat dengan jelas,bahwa kepala Desa & perangkat desa dilarang sebagai pengurus partai politik , sementara bupati/walikota, Gubernur, Menteri, wakil Presiden & Presiden di ijinkan sebagai pengurus partai Politik.
Desa / Pemerintah Desa juga diperlakukan tidak adil oleh pemerintah pusat melalui UU No.22 Tahun 1999 dalam bidang Otonomi, hal ini dapat dilihat dengan jelas bahwa Otonomi  hanya sampai pada tingkat 2 (dua) yaitu berhenti ditingkat Kabupaten/Kota, tidak sampai pada Desa/Pemerintahan Desa.
Di Era Orde Reformasi saat ini Desa/Pemerintah Desa juga diperlakukan tidak adil didalam bidang anggaran negara. Karena Desa tidak terjangkau oleh otonomi maka akibatnya desa dianggap tidak sebagai pemangku anggaran, artinya desa tidak berhak mendapat porsi anggaran secara langsung dari APBN. Agar Desa / Pemerintah Desa tidak ada celah menuntut dana APBN maka diciptakanlah UU Nomor 33 Tahun 2004 yang mengatur tentang “ SISTEM PERIMBANGAN KEUANGAN PUSAT DAN DAERAH ” yang terakhir mendapat kucuran APBN adalah pemerintah daerah dan yang dimaksud DAERAH adalah berhenti pada level Kabupaten /Kota ,akibatnya Pemerintah Desa/Aparatur Desa hanya gigit jari dan hanya menjadi penonton abadi pesta pora anggaran negara oleh pejabat daerah dalam korupsi .
Anggaran pembangunan Desa dan belanja pemerintah desa hanya menunggu sisa tetesan dan belas kasihan kebijakan dari pemerintah Kabupaten.Berdasarkan data dan fakta-fakta yang seperti inilah yang membuat Parade Nusantara (Persatuan Rakyat Desa-Nusantara) berjuang dan menuntut lahirnya UU Desa. Adapun yang melatar belakangi Parade Nusantara menuntut lahirnya UU Desa dari pemerintahan pusat adalah :
  1. Sejak Indonesia merdeka tanggal 17 agustus ’45 belum pernah ada UU yang mengatur tentang Desa yang ada adalah UU yang mengatur tentang Desa (Bukan Desa) . Seperti UU Nomor  1 Tahun 1948 adalah mengatur tentang pemerintah Daerah ,UU Nomor 5 Tahun 1979 adalah mengatur tentang Pokok-pokok Pemerintahan Desa, UU Nomor 22 Tahun 1999 mengatur tentang Otonomi Daerah yang didalamnya ditumpangi aturan tentang Pemerintahan Desa, UU Nomor 32 Tahun 2004 yang berlaku efektif sampai saat ini mengatur tentang 3 hal, yaitu tentang Pemerintah Daerah, tentang Pemilihan Kepala daerah dan tentang Pemerintahan Desa.
  2. Didalam UUD ’45 pasal 18 B mengamanatkan bahwa “ Pemerintah mengakui hak adat, hukum adat dan adat istiadat yang berlaku secara turun temurun, selama masih ada dan tidak bertentangan dengan hukum positif Indonesia yang berlaku” tetapi didalam UU yang mengatur tentang Pemerintahan Desa yang lahir sejak era Orde lama, Orde Baru dan Orde Reformasi saat ini tidak pernah diatur dengan jelas mengenai masalah tanah adat, hukum adat dan adat istiadat desa yang mana yang diakui pemerintah pusat. Parade Nusantara sangat berharap hal tersebut diatur secara jelas dalam RUU yang saat ini sedang dibahas Pansus RUU Desa DPR RI.
  3. Jelas – jelas diatur didalam UU Tata Negara & UU Administrasi Negara yang mengamanatkan bahwa “setiap level pemerintahan harus dilengkapi dengan KEWAJIBAN, HAK & KEWENANGAN, tetapi UU yang mengatur tentang Pemerintahan Desa sejak zaman Orde Lama, Orde Baru sampai dengan Orde Reformasi saat ini, Pemerintahan Desa hanya diberi KEWAJIBAN tanpa KEWENANGAN & HAK.
          Akibat Desa / Pemerintah Desa didalam UU yang mengaturnya hanya diberi KEWAJIBAN yang diperhalus didalam PP (Peraturan Pemerintah ) dengan bahasa tugas Pembantuan, maka akibatnya desa saat ini benar - benar ambruk dan terpuruk segala pranatanya. Pada saat ini yang terjadi bukan Modernisasi desa tetapi Westernisasi Desa. 100 % lahan berupa tanah diwilayah kerja desa dikuasai oleh 3 % korporasi asing maupun swasta nasional, diexploitasi untuk perkebunan dan pertambangan, masyarakat desa rata - rata hanya menjadi penonton abadi dan yang paling beruntung nasibnya menjadi kuli ditanah leluhurnya sendiri. Kurang lebih 67 % sumber mata air yang mengalir dari gunung , kampung dan desa hampir diseluruh wilayah Indonesia pada saat ini dikuasai oleh supra desa ( Pemerintahan diatas pemerintahan desa) untuk PDAM dan dikuasai PT. DANONE Indonesia  perusahaan bangsa Perancis yang beroperasi di Indonesia sebagai prosdusen air mineral Merek AQUA. Toko-toko dan kios-kios kecil usaha masyarakat desa saat ini tutup pintu dan gulung tikar alias bangkrut karena tidak mampu bersaing dengan toko-toko Modern Alfa mart , Indo Mart dan Mart-mart yang lainnya. Semua ini terjadi akibat didalam UU yang mengatur tentang pemerintahan desa , hanya memberi KEWAJIBAN tanpa HAK & KEWENANGAN terhadap Pemerintahan Desa. Sehingga Pemerintah Desa tidak mempunyai daya dan upaya melindungi masyarakat desanya karena Pemerintah Desa tidak mempunyai bergaining posisi yang jelas. Pemerintah Desa hanya disetting taat, patuh dan tunduk serta mengiyakan setiap keputusan Bupati, Gubernur dan Presiden.
Hal inilah yang penulis katakan bahwa yang terjadi didesa - desa Indonesia saat ini bukan MODERNISASI DESA tetapi WESTERNISASI DESA. Hanya dengan lahirnya UU Desa yang mengatur dengan jelas dan tegas mengenai Kewajiban, Hak dan Kewenangan Pemerintah Desa, diharapkan desa akan kembali menjadi rumah yang aman dan nyaman untuk tempat berlindung dan bernaung anak cucu kita. Desa akan menjadi tempat damai sampai  akhir menutup mata.

                                                                                   Jakarta 1 Desember 20012
                                                                   ( H.Sudir Santoso,SH/Ketua Umum Parade Nusantara)

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "KIAT POLITIK NEGARANISASI DESA"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel