-->

Dana desa menurut FITRA

sebagaimana telah di lansir di desamerdaka.id yang membahas dana desa,lambaga FITRA berikut kutipan  artikelnya:

Semenjak pembahasan UU Desa selalu mengawal hingga  proses implementasi. Sejak tahun 2015, FITRA membuka posko pelaporan Dana Desa secara Nasional dengan menyertakan 13 simpul jaringan FITRA di daerah. Sejauh ini semester I tahun 2016, FITRA telah menerima banyak laporan dari masyarakat.

Selain itu juga saat ini FITRA juga terus melakukan penelitian dan pengawasan terkait dengan Dana Desa. Berikut adalah beberapa hasil temuan dan laporan dari masyarakat :


  • Pertama, khusus untuk realisasi tahun 2016, bulan Juli ini baru realisasi tahap I sebesar 50 Persen atau Rp. 26,9 Triliun dari total Rp. 46 Triliun. Seharusnya transfer dana desa tahap pertama mencapai 60 persen dari pagu dalam APBN. 


Saat ini, dari 434 Desa terdiri dari 74.000 Desa, sebanyak 414 Daerah tercatat belum menerima karena alasan admnistratif. Kementrian keuangan beralasan Pemerintah daerah belum menyerahkan syarat administrasi yaitu APBDes, RKPDes, dan Pertanggunjawaban Dana Desa.

Catatan FITRA :
keterlambatan ini adalah kebiasaan lama yang terus berlarut dari Pemerintah. Sebelumnya tahun 2015, untuk mengantisipasi keterlambatan ini maka diterbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) untuk Percepatan Penyaluran Dana Desa yang ditandatangani oleh Kementerian yaitu Kemendes, Kemendagri dan Kemenkeu.


  • Kedua, baru baru ini di Kabupaten Bangkalan Madura, Polisi Melakukan Operasi Tangkap Tangan kepada oknum Camat yang melakukan penyunatan dalam proses pencairan dana Desa. Ternyata, data penyutanan tersebut hasilnya dibagikan kepada beberapa oknum dan jaringan birokrasi. Berikut adalah data pemotongan Dana Desa di bangkalan.

Besar Pemotongan mencapai Rp. 110 juta per desa (22 desa), berikut adalah rincian potongan dan modus pembagian potongan :

Catatan FITRA :
terkait pemotongan dana desa ini, sebelumnya telah diprediksi oleh FITRA pada tahun 2015. Bahkan secara khusus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga telah melakukan riset investigasi dan hasilnya sama bahwa ada potensi pemotongan dana desa dari oknum Pemda, baik saat Pilkada ataupun tidak. Masalahnya Kemendes abai terhadap alarm dari masyarakat dan KPK ini.


  • Ketiga, terjadi penyalahgunaan dana desa oleh aparatur desa. Laporan masyarakat dan Berdasarkan temuan FITRA di 15 Kabupaten setidaknya terdapat kerugian mencapai Rp. 4,9 Miliar, rata-rata modus yang dilakukan aparatur desa adalah pemotongan anggaran, mark up, dan pemalsuan tanda-tangan. Ada juga yang tertangkap karena masalah kesalahan administrasi dan tidak sesuai dengan peruntukan. Jika masalah ini tidak diperbaiki maka akan banyak lagi kepala desa yang tertangkap, efeknya bagai aparatur desa, ketakutan kepala desa dalam penggunakan/meganggarkan alokasi DD sehingga program pembangunan desa tidak berjalan dengan baik.


Catatan FITRA :
dalam riset FITRA dan KPK juga merekomendasikan agar potensi penyalahgunaan dana desa ini di minimalisir melalui pengawasan yang ketat dari Kemendes. Sayangnya, hal ini diabaikan sehingga beberapa pelanggaran terus terjadi. Namun sebenarnya, Kemendes telah membentuk Satgas Dana Desa tahun 2015, namun kerja nya sampai saat ini belum terasa khususnya terkait pengawasan dan pengawalan dana desa.


  • Keempat, parahnya Badan Anggaran (Banggar) DPR justru mengusulkan penyaluran dana desa tidak diaudit terlebih dahulu oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Alasan Banggar konon agar pencairan dana desa cepat terlaksana.


Catatan FITRA :

FITRA menilai, Banggar tidak update dan solusi yang ditawarkan tidak relevan karena masalah utama sebenarnya ada di administrasi dan koordinasi antar kementerian yaitu Kemendes, Kemendagri dan Kemenkeu.
Rekomendasi FITRA

Perlu kerja keras Kemendes dalam mengawal implementasi dana desa agar tidak terjadi penyunatan dan penyalahgunaan di daerah. Sejauh ini FITRA menilai kurang fokus dan lambat dalam proses mengawal dan mengawasi ini.
Apakabar Satgas Desa, kinerja nya harus disampaikan secara transparan dan akuntabel ke masyarakat.
Kemendagri juga harus terlibat dalam menyiapkan aparat pemerintah daerah agar seutuhnya dana desa dapat dikelola dengan baik oleh pemerintah desa untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat desa.
Agar dana desa secepatnya dapat dicairkan dan digunakan, maka perlu adanya penyederhanaan administrasi untuk daerah dan desa.
Menolak Usulan Banggar untuk meniadakan audit BPKP dengan alasan percepatan pencairan dana Desa.



Pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) berupaya menekan inflasi di perdesaan yang lebih tinggi dibandingkan di perkotaan. Caranya adalah memangkas rantai distribusi komoditas pangan dengan penggunaan aplikasi informasi harga pangan.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi perdesaan pada Juli lalu sebesar 0,74 persen. Angkanya lebih tinggi dari inflasi nasional yang sebesar 0,69 persen. Pada bulan-bulan sebelumnya, inflasi di desa memang selalu lebih tinggi dibandingkan inflasi secara nasional.

PIHPS MERUPAKAN APLIKASI DAFTAR HARGA KOMODITAS PANGAN DI MASING-MASING DAERAH. DALAM APLIKASI INI, JUMLAH PRODUKSI KOMODITAS DI TIAP-TIAP DAERAH JUGA BISA DIKETAHUI.


Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Makro Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung menilai, penyebab tingginya inflasi di desa adalah hambatan distribusi komoditas pangan.

Karena itu, dalam rapat koordinasi nasional (Rakornas) Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) yang rencananya akan dibuka oleh Presiden Joko Widodo, Kamis (4/8) besok, akan berfokus pada penguatan sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah untuk mempercepat ketersediaan infrastruktur dan tata niaga pangan. Forum tersebut mengundang sebanyak 34 gubernur dan 455 bupati/walikota.

Selain itu, Juda melihat, inflasi di perdesaan tinggi karena masalah informasi. Ke depan, Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) nasional diharapkan menjadi solusi atas ketersediaan informasi harga pangan, baik bagi konsumen maupun produsen.

PIHPS merupakan aplikasi yang menyediakan daftar harga komoditas pangan di masing-masing daerah. Dalam aplikasi ini, jumlah produksi komoditas di tiap-tiap daerah juga bisa diketahui. “Akan disediakan informasi (harga) di tingkat produsen, ini pengembangan ke depan. Memang ini bukan default, hanya sample,” kata Juda saat konferensi pers terkait Rakornas TPID VII 2016 di Gedung BI, Jakarta, Rabu (3/8).

Melalui aplikasi tersebut, petani juga bisa bertukar informasi perihal harga ataupun produksi masing-masing komoditasnya. Bahkan, saat ini dikembangkan sistem peringatan dini (early warning system) untuk mengantisipasi kemungkinan kenaikan harga di tiap-tiap daerah. Harapannya, setiap sentra produksi bisa bersiap menghadapi kondisi tersebut serta mendorong upaya menahan atau menurunkan harga.

“Early warning system artinya bisa antar-anggota TPID, misalnya gubernur, kepala daerah, Dinas Pertanian. Jadi, ketika harga beras, misalnya naik di daerah A nanti bisa ketahuan apa yang harus dilakukan,” kata Juda.

Sebelumnya, Kepala BPS Suryamin mengatakan tren inflasi perdesaan yang lebih tinggi ini disebabkan oleh biaya produksi yang membengkak di sektor pertanian. Apalagi, meskipun harga komoditas di tingkat eceran sudah meningkat, harganya di tingkat petani masih menurun.

Hal ini terjadi karena ulah tengkulak yang membeli dengan harga rendah tetapi menjualnya dengan harga tinggi. Akibatnya, baik petani ataupun konsumen dirugikan.

Sebagai contoh, pada Juli lalu, harga gabah di tingkat petani menurun 2,3 persen. Lalu, harga beras di penggilingan juga terkontraksi 0,5 persen. Namun, harga beras di grosir ataupun eceran naik masing-masing 0,3 persen dan 0,5 persen. “Jadi barang yang diproduksi banyak, harganya turun sehingga petani membeli barang untuk proses produksinya agak tinggi

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Dana desa menurut FITRA"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel